Gambar Cut Nyak Dhien diambil dari wikipedia
Biodata
- Nama Lengkap : Cut Nyak Dhien
- Tempat Lahir : Lampadang, Kesultanan Aceh
- Tahun Lahir : 1848
- Meninggal : 6 November 1908. Sumedang, Hindia Belanda
- Agama : Islam
Kehidupan
Cut Nyak Dhien
lahir pada tahun 1848 di Aceh Besar di wilayah VI Mukimm, ia terlahir
dari kalangan keluarga bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia,
seorang uleebalang, yang juga mempunyai keturunan dari Datuk Makhudum
Sati.
Datuk Makhudum
Sati datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah
oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak
Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri
uleebalang Lampagar.
Pada masa kecil
Cut Nyak Dhien, Ia memperoleh pendidikan agama (yang dididik oleh orang
tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan
yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang
tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha
melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya
pada tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang
Lamnga XIII. Namun pada tahun 1878 Teuku Ibrahim Lamnga suami dari Cut
Nyak Dhien tewas karena telah gugur dalam perang melawan Belanda di Gle
Tarum pada tanggal 29 Juni 1878.
Meninggalnya
Ibrahim Lamnga membuat duka yang mendalam bagi Cut Nyak Dhien. Tidak
lama setelah kematian Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dhien dipersunting oleh
Teuku Umar pada tahun 1880.
Teuku Umar
adalah salah satu tokoh yang melawan Belanda. Pada awalnya Cut Nyak
Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta
dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada
tahun 1880. Mereka dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Cut
Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar
bertempur bersama melawan Belanda.
Perang Aceh
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah.
Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati
Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal
30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang
pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat
senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka
memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya
komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar
merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai
penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut
Nyak Dhien dan memakinya.
Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda.
Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu
mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan
mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika
jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan
rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang
basis Aceh.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan
perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah
kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar
(pengkhianatan Teuku Umar).
Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan
melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar dan Chut
Nyak Dhien. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda.
Mereka mulai menyerang Belanda dan pasukan musuh berada pada kekacauan
sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus
Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda
berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan
membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.
Teuku umar dan Chut Nyak Dhien terus menekan Belanda, lalu menyerang
Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga
Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas. Unit
"Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat
sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De
Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang
ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati
kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De Marsose".
Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena
banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka,
dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.
Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan
mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak Teuku
Umar sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar
untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku
Umar gugur tertembak peluru.
Setelah kematian Teuku Umar, Cut Nyak Dien memimpin pasukan perlawanan
melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya
dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai
kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa
berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin
tua.
Masa Tua dan Kematian
Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di rumah
sakit disana, sementara itu Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan
dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut
Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan
Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga
karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya
yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959
berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu"
diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat
melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang
peresmian makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan
pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar
besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam
terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan
yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.
Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan
bahasa Arab, Surah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
Informasi diatas saya dapatkan dari artikel di wikipedia dan juga dengan beberapa situs yang membahas informasi yang sama. Itulah sedikit ulasan mengenai biografi cut nyak dhien yang dapat saya sampaikan terima kasih.
Informasi diatas saya dapatkan dari artikel di wikipedia dan juga dengan beberapa situs yang membahas informasi yang sama. Itulah sedikit ulasan mengenai biografi cut nyak dhien yang dapat saya sampaikan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar