Biografi R.A. Kartini atau Raden Ayu Kartini adalah salah satu
sosok wanita yang menjadi pelopor untuk kebangkitan wanita pribumi,
salah satu dari pahlawan Indonesia yang wajib untuk dijadikan inspirasi
hidup bagi warga Indonesia khususnya bagi para kaum wanita. Perjuangan
beliau untuk memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia patut
diancungi jempol.
Raden Ayu Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Kota Jepara. R.A
adalah sebuah gelar yang diberikan kepada keluarga bangsawan karena
beliau merupakan anak dari kalangan keluarga bangsawan, maka ia berhak
mendapatkan gelar R.A atau bisa disebut dengan Raden Ajeng.
Ayahnya bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV,
yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai Bupati Jepara yang
diangkat saat berusia 25 tahun dan dikenal sebagai salah satu bupati
pertama yang memberikan pendidikan barat kepada anak-anaknya.
R.A. Kartini. Gambar diambil dari id.wikipedia.org/wiki/Kartini |
R.M. Adipati Ario Sosroningrat juga pernah menjabat sebagai bupati
Jepara setelah Kartini dilahirkan. Dari ayahnya, silsilah Kartini dapat
dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Tidak hanya itu, ayahnya
dikatakan masih memiliki garis keturunan dari Kerajaan Majapahit hal ini
diperkuat dengan pernyataan 'Pada abad ke-18 Pangeran Dangirin menjadi
bupati di Surabaya sehingga nenek moyang R.M. Adipati Ario Sosroningrat
mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja (informasi ini perlu
diteliti lebih lanjut).
Berbeda dengan ayahnya, ibu dari Kartini bukan keturunan dari bangsawan melainkan hanya rakyat biasa. Nama beliau adalah M.A. Ngasirah merupakan anak dari Kyai Haji Madirono dengan Nyai Haji Siti Aminah, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.
Raden Ayu Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan
tiri. Dari semua saudara kandungnya, Kartini adalah anak perempuan
tertua. Kakaknya yang bernama Sosrokartono, seorang yang pintar dalam bidang sastra atau bahasa.
Pada pernikahan pertama, R.M. Adipati Ario Sosroningrat menjabat sebagai
Wedana di Mayong. Peraturan kolonial pada saat itu mengharuskan seorang
bupati beristerikan seorang bangsawan, maka M.A. Ngasirah yang bukan
dari keturunan bangsawan harus rela karena R.M. Adipati Ario
Sosroningrat yang merupakan seorang bangsawan menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung dari seorang Raja Madura yang bernama R.A.A. Tjitrowikromo.
Setelah pernikahan tersebut ayah Kartini diangkat menjadi Bupati di
Jepara. M.A. Ngasirah menjadi istri pertama dan R.A. Woerjan menjadi
istri utama.
Kartini dan Saudaranya. Gambar diambil dari id.wikipedia.org/wiki/Kartini |
R.A Kartini bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di
sekolah ini ia belajar Bahasa Belanda, namun hanya sampai usia 12 tahun
karena budaya pada masa itu, anak perempuan harus tinggal dirumah untuk
'dipingit' dapat diartikan sebagai dikurung/berkurung di dalam rumah.
Belajar dapat dimana saja dan kapanpun selagi kita memiliki kemauan dan
kesempatan, itulah yang dilakukan Kartini. Ia bisa berbahasa Belanda,
maka di rumah ia mulai belajar dan menulis surat kepada teman-teman
korespondensi yang berasal dari Belanda salah satunya bernama Rosa Abendanon.
Munculnya Pemikiran Mengenai Emansipasi Wanita
Kebiasaan Kartini yang menulis surat kepada teman-teman korespondensi
dan juga ditambah dengan sering membaca buku, koran, maupun majalah
Eropa, Kartini menjadi tertarik pada kemajuan pola berpikir perempuan
Eropa. Akhirnya timbul keinginan untuk memajukan wanita pribumi karena
pada masa itu dengan budaya yang bersifat menekan perempuan, ia melihat
bahwa wanita pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini juga banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief, ia juga menerima Leestrommel (paket majalah langganan). Ia beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak bahwa Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian.
Perhatiannya tidak hanya fokus pada emansipasi wanita, namun juga dalam
masalah sosial umum. Ia menginginkan agar wanita memperoleh persamaan
hukum dan kebebasan sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Ia suka
membaca buku, beberapa buku yang ia baca, yaitu Max Havelaar, Surat-Surat Cinta karya Multatuli, dan De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus.
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi
sosial saat itu, terutama tentang kondisi wanita pribumi. Sebagian
besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut
budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan bagi kaum
wanita.
Raden Ayu Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling, Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen, Zelf-werkzaamheid, dan Solidariteit.
Semua itu atas dasar Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, ditambah
dengan peri kemanusiaandan Nasionalisme (cinta tanah air).
R.A Kartini memiliki keinginan untuk dapat melihat wanita pribumi
mendapatkan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat
seperti persamaan hak wanita dengan laki-laki, kebebasan dalam menuntut
ilmu, maupun dalam mengekang kebebasan wanita.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus
dihadapi ketika bercita-cita menjadi wanita Jawa yang lebih maju. Meski
memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan
anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja
pintu untuk ke sana tertutup.
Raden Ayu Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih
terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar
dalam mewujudkan cita-citanya. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan
begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini
untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan
Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah
kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang
terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan
berupaya mewujudkan keinginannya tersebut. Akhirnya Kartini membatalkan
keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan
dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda
tersebut akhirnya beralih ke Betawi setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan
studi menjadi guru di Betawi mungkin hanya akan menjadi mimpi yang tidak
dapat diwudujkan. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini
mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. Padahal saat
itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan
bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Sekolah Kartini. Gambar diambil dari id.wikipedia.org/wiki/Kartini |
R.A Kartini menikah dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat
pada tanggal 12 November 1903, yang merupakan seorang bangsawan dan
juga menjabat sebagai Bupati di Rembang yang telah mempunyai tiga orang
istri. Suaminya mengerti apa yang diinginkan oleh Kartini, akhirnya
Kartini diberi kebebasan dan didukung untuk mendirikan sekolah wanita di
sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang dan
sekarang bangunan tersebut digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Meninggal Dunia
Pernikahannya dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo memiliki satu orang anak yang bernama Soesalit Djojoahiningrat,
lahir pada tanggal 13 September 1904. Berselang beberapa hari setelah
melahirkan tepatnya pada tanggal 17 September 1904, Kartini meninggal
dunia dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihan yang dilakukan oleh Kartini, kemudian banyak sekolah
wanita yang berdiri seperti di kota di Indonesia seperti Surabaya,
Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, daerah lainnya, maupun sekolah
wanita yang didirikan oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912. Nama
sekolah tersebut adalah Sekolah Kartini yang didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Penjelasan Politik Etis adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa
pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan
pribumi.
Pengumpulan Surat yang Pernah Ditulis oleh Kartini
Setelah kematian Kartini, seseorang yang bernama J.H. Abendanon
mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan oleh
Kartini kepada teman-teman korespondensi yang berada di Eropa. J.H.
Abendanon yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama,
dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht
yang memiliki arti "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat
Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali,
dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Gambar diambil dari id.wikipedia.org/wiki/Habis_Gelap_Terbitlah_Terang |
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran. Pada tahun 1938 keluar buku yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden,
Belanda, saat ia melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Pada
1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door
Duisternis Tot Licht pun terbit. Buku kumpulan surat versi Sulastin
Sutrisno terbit dengan judul Surat-Surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya.
Buku yang terbit melalui pengumpulan surat kartini :
- Habis Gelap Terbitlah Terang
- Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya
- Letters from Kartini, An Indonesian Feminist
- Panggil Aku Kartini Saja
- Kartini Surat-Surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya
- Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar
Surat-surat yang ditulis oleh Kartini menarik perhatian masyarakat
Belanda dan pemikiran yang dituangkan dalam surat tersebut mengubah
pandangan masyarakat Belanda terhadap wanita pribumi. Tidak hanya itu
surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan
nasional, antara lain W.R. Soepratman yang berhasil menciptakan sebuah lagi yang berjudul Ibu Kita Kartini.
Lagu ibu kita Kartini menggambarkan inti perjuangan wanita untuk
merdeka. Kini kemerdekaan kaum wanita diwujudkan dalam konsep emansipasi
wanita.
Lirik Lagu Ibu Kita Kartini Karya W.R. Soepratman
Ibu kita Kartini, putri sejati
Putri Indonesia, harum namanya
Ibu kita Kartini, pendekar bangsa
Pendekar kaumnya untuk merdeka
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
Ibu kita Kartini, putri jauhari
Putri yang berjasa, se-Indonesia
Ibu kita Kartini, putri yang suci
Putri yang merdeka cita-citanya
Wahai ibu kita kartini
putri yang mulia
sungguh besar cita-citanya bagi indonesia
Ibu kita Kartini, pendekar putri
Pendekar kaum ibu Tanah Airku
Ibu kita Kartini, penyuluh budi
Penyuluh kaumnya kar'na cintanya
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia
Perdebatan Mengenai Kebenaran Surat dari Kartini
Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan
J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu,
merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku
Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik
etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan
mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli
surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno,
jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah
Belanda.
Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak
diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar
tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus
dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar
tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya,
karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan
Kartini seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika
dan lain-lain.
Penghargaan
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai
Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini,
tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang
kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Lagu Ibu Kita Kartini karya W.R. Sopratman juga ditetapkan sebagai lagu
Nasional. Namanya juga diabadikan sebagai nama jalan kota yang ada di
Belanda.
- Utrecht : dengan nama Jalan R.A. Kartini atau Kartinistraat
- Venlo : dengan nama Jalan R.A. Kartinistraat
- Amsterdam : dengan nama Jalan Raden Adjeng Kartini
- Haarlem : dengan nama Jalan Kartini
Catatan Kaki
- "Kartini". Diakses 25 April 2016
https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini - "Biografi R.A Kartini". Diakses 25 April 2016
http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-ra-kartini.html - "Biografi R.A Kartini Tokoh Emansipasi Wanita Indonesia". Diakses 25 April 2016
http://www.lahiya.com/biografi-r-a-kartini-tokoh-emansipasi-wanita-indonesia/ - "Lirik Lagu Anak Indonesia/Ibu Kita Kartini". Diakses 26 April 2016
https://id.wikibooks.org/wiki/Lirik_Lagu-lagu_Anak_Indonesia/Ibu_Kita_Kartini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar